Monday, November 17, 2008

Menggugat Tafsir (Makro) Ekonomi Barat

Republika, 17 November 2008

Oleh: 
Hendri Tanjung
Dosen UIKA Bogor dan Kandidat Doktor Ekonomi Islam IIU Pakistan
dan
Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB, Kandidat Doktor IIUM dan Ketua PPI Malaysia

Krisis keuangan global yang berkepanjangan dan belum menunjukkan titik terang, bagi penulis telah menimbulkan keraguan akan keampuhan teori-teori ekonomi konvensional menjawab persoalan kontemporer. Saatnya Indonesia mendesain ulang kebijakan makro ekonominya karena yang ada belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak. 

Kegagalan ekonomi kapitalisme seharusnya dijadikan momentum dan pelajaran secara bertahap mengubah paradigma kebijakan pembangunan ekonomi nasional dari orientasi akumulasi kapital pada orientasi keadilan sesuai dengan prinsip syariah Islam dan realitas sosial masyarakat yang bersumber dari akar sejarah bangsa. Tidak ada satu pihak pun yang meragukan pendekatan makro diperlukan dalam pembangunan suatu negara. Pendekatan makro diperlukan untuk menganalisis perilaku ekonomi masyarakat. Misalnya, mengapa banyak pengangguran? Mengapa inflasi tinggi? 

Pada 1958 ekonom Inggris Sir Philips menemukan hubungan antara inflasi dan pengangguran yang akhirnya dikenal dengan Philips Curve. Dengan menggunakan data dari 1861 sampai 1957, Philips menemukan ada trade off antara inflasi dan pengangguran di Inggris. Artinya, jika pengangguran rendah, inflasi tinggi. Sebaliknya, jika pengangguran tinggi, inflasi rendah. 

Akhirnya pemerintah mencari solusi dengan melakukan fine tuning. Artinya, jika pemerintah ingin menurunkan pengangguran dua persen, harus siap menerima inflasi (misalnya) sebesar lima persen. Jelaslah teori ekonomi ini ditemukan dari realitas yang terjadi pada masyarakat Inggris dalam kurun waktu hampir seabad itu. 

Contoh lain ketika masyarakat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, ke mana masyarakat menghabiskan pendapatan tambahannya itu? Apakah untuk konsumsi atau menabung? 

Dari sini Hutcheson mengeluarkan teorinya yang akhirnya dipakai sebagai rumus umum dalam classical economics bahwa pendapatan (Y) pada dasarnya sama dengan tingkat konsumsi (C) ditambah dengan tabungan (S). Adakah yang salah dalam teori ekonomi makro ini?  Tidak ada yang salah dalam teori tersebut karena perilaku masyarakat Inggris saat itu memang seperti itu.   
Yang salah, tidak ada fondasi pendekatan mikro dalam menerangkan realitas makro tersebut. Philips tidak mengetahui mengapa ada trade off antara inflasi dan pengangguran. Sama halnya dengan Hutcheson yang tidak mengetahui mengapa hanya melalui konsumsi dan tabungan masyarakat menghabiskan pendapatannya. Mengapa tidak ada cara ketiga atau keempat seperti mengeluarkan infak, zakat, dan sebagainya?

Dari sini dapat disimpulkan bahwa teori ekonomi yang berkembang di Barat yang dipelajari oleh ekonom kita adalah teori yang didasarkan pada fakta dan sejarah masyarakat Barat. Begitu fakta dan sejarah itu berubah, berubah pulalah teori itu.

Misalnya, ketika masyarakat Barat semakin pintar menelaah kebijakan pemerintah, maka kebijakan-kebijakan ekonomi makro pemerintah saat itu tidak memiliki dampak sedikit pun. Lihatlah bagaimana Lucas dengan teori Rational Expectation-nya, mematahkan teori Philips. Lucas menyatakan dengan rational expectation, inflasi akan terus tinggi tanpa mengurangi jumlah pengangguran sedikit pun. 

Pertanyaan menarik yang penting, mengapa konsep ekonomi Barat diterapkan secara utuh di negara kita yang notabene memiliki sejarah yang berbeda? Apalagi kehidupan bangsa Indonesia sarat dengan nilai agama. 

Masyarakat Barat maju seperti sekarang karena meninggalkan agamanya. Mereka tidak percaya dengan konsep Tuhan yang menjadi doktrin gereja saat itu. 

Ketidakpercayaan mereka bukan tanpa alasan. Ketika itu gereja mengatakan bumi datar. Kemudian, datanglah Galileo Galilei yang menyatakan bumi ini bulat. Apa yang terjadi adalah gereja sangat marah dengan Galileo karena melawan konsepnya. Akhirnya, Galileo digantung hingga menemui ajalnya. Tetapi, begitu dapat dibuktikan bahwa bumi bulat, masyarakat Barat mulai tidak percaya dengan gereja. Mereka kemudian membuang keimanan mereka dan menjadikan sains sebagai 'Tuhan' alternatif.

Apa yang terjadi berikutnya adalah perkembangan yang luar biasa dalam sains khususnya matematika dan logika. Teori logical positivism mengatakan sesuatu yang tidak dapat diobservasi (seperti ilmu agama) adalah ilmu yang lemah, tidak dapat diterima.  Mulai saat itu, ilmu sains berkembang berdasarkan observasi dan pengamatan. 

Pada 1950-an, teori positivisme itu ditemukan salah sebab banyak hal nyata yang tidak dapat diobservasi seperti atom. Meskipun demikian, ilmu sains seperti fisika dan engineering mendapat kemajuan yang pesat. 

Rumus Newton yang ditemukan ratusan tahun lalu kini dapat menerangkan segala fenomena alam. Inilah yang membuat pakar ekonomi ketika itu berpikir, kenapa tidak dibuat satu rumus ekonomi yang dapat menerangkan segala fenomena ekonomi? 

Mereka berpikir sudah seharusnya ilmu ekonomi disamakan dengan ilmu fisika. Akhirnya lahirlah teori yang menyatakan bahwa manusia itu selfish (hanya mementingkan diri sendiri). Dari teori ini, muncullah sejumlah teori lain seperti profit maximization dan pareto optimality.

Mulai dari sini, ekonomi membedakan antara normatif dan positif. Ekonomi normatif adalah ekspresi dari nilai-nilai, sedangkan ekonomi positif adalah pernyataan yang ditentukan oleh fakta. Nilai-nilai tidak dapat ditentukan oleh fakta. Ia datang dari agama. Karena masyarakat Barat menolak agama, yang berkembang berikutnya adalah ekonomi positif. 

Monopoli Penafsiran

Tampaknya Barat memonopoli penafsiran ekonomi saat ini. Kita tidak menemukan penafsiran lain dalam memahami fenomena ekonomi. 

Mari kita lihat beberapa asumsi yang digunakan Barat menafsirkan fenomena ekonomi. Pertama, terlalu menyederhanakan masalah. Terlalu banyak variabel yang diabaikan dan dimasukkan dalam asumsi ceteris paribus, artinya dianggap tetap dan tidak berubah. 

Mereka pun terkadang salah kaprah dalam menggunakan matematika, padahal terkadang matematika tidak dapat menjelaskan keseluruhan faktor yang melandasi terjadinya sebuah fenomena. Contohnya adalah fungsi kepuasan (utility function), di mana penggunaan matematika ternyata belum mampu menerangkan secara utuh keseluruhan faktor yang menjelaskan tingkat kepuasan masyarakat.

Kedua, manusia seperti partikel dan hanya menuruti satu hukum, yaitu mementingkan diri sendiri (selfish). Ini tidak benar. Mari kita lihat ultimatum game yang dijelaskan melalui eksperimen. Dari ultimatum game, dapat dijelaskan bahwa manusia itu tidak selfish. Manusia memiliki motivasi lain dalam perilaku ekonomi seperti keinginan berkorban, mencintai, dan keinginan menolong. 

Inilah nilai-nilai yang dianjurkan Islam. Sampai sekarang ekonom Barat tidak mengerti mengapa hal ini terjadi. Kesimpulannya, ekonomi yang mengandung nilai-nilai, seperti pengorbanan dan kasih sayang merupakan bagian integral dari sifat alami manusia dan bukan sesuatu yang terpisah.    

Ketiga, ekonomi Barat menganut falsafah bebas nilai (positivism). Agama (baca: Islam) mengatur nilai-nilai (baik-buruk, halal-haram) . Barat tidak memiliki pilihan karena mereka tidak punya wahyu. Sementara bagi kita, kita tidak bisa menjalankan ekonomi tanpa nilai-nilai. Terbukti salah satu penyebab utama terjadinya krisis saat ini adalah akibat tidak adanya peran etika dan moralitas (akhlakul karimah) dalam ekonomi.

Keempat, ada hukum-hukum tertentu dari perilaku ekonomi. Sebenarnya, manusia bebas dan dapat memilih hukumnya sendiri. Contohnya, mengajari anak-anak dengan nilai-nilai agama. 

Jika dari kecil anak-anak diajari mencintai manusia khususnya orang miskin, tidak akan ada kemiskinan dan kesenjangan sosial yang dahsyat seperti sekarang ini. Tetapi, jika anak-anak diajari untuk egois, akan terdapat orang yang kelaparan. Agama Islam mengajarkan bahwa kemiskinan itu adalah akibat tidak bertanggung jawabnya orang-orang kaya di dalam masyarakat. 

Penafsiran ekonomi Barat pada ekonomi positif tidak memberi ruang bagi ekonomi normatif. Ekonomi normatif dipasung dalam pakem nilai-nilai agama yang tidak diakui oleh Barat.  Mereka mengatakan tidak ada hubungan antara ekonomi dan agama. Tidak ada hubungan antara pengangguran dan agama. Tidak ada hubungan antara kemiskinan dan agama. Tidak ada hubungan antara gejolak pasar modal dengan agama. 

Haruskan kita percaya pada penafsiran Barat yang jelas-jelas menolak Tuhan dalam memecahkan fenomena ekonomi? Haruskah kita menunggu kematian ekonomi seperti kematian Galileo di tiang gantungan?